Jadi Pusat Rempah Dunia, Kenapa Variasi Kuliner dan Penggunaan Bumbu Rempah Lebih Sedikit di Wilayah Timur Indonesia?

 

Sariagri - Indonesia dikenal sebagai negeri yang kaya rempah. Berbagai jenis rempah seperti pala, cengkeh, kayu manis, lada, kemiri dan lainnya tumbuh subur terutama di wilayah tengah dan timur Indonesia. Rempah-rempah tersebut banyak digunakan sebagai bumbu masakan di banyak kuliner nusantara.

Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Alie Humaidi mengungkapkan, meskipun banyak rempah dipasok dari wilayah tengah dan timur Indonesia, namun keragaman kuliner dan cita rasa masakan di wilayah tersebut ternyata lebih rendah dibandingkan wilayah barat Indonesia.

“Dalam peta jalur rempah, ada sesuatu yang menurut saya aneh. Berdasarkan pemetaan yang kami lakukan dalam ensiklopedia kuliner tradisional, kami menemukan ada sekitar 15.700 kuliner tradisional, dan dari data tersebut menunjukkan bahwa semakin ke timur semakin sedikit kulinernya,” kata Alie dalam webinar Kekayaan Rempah Nusantara, Selasa (17/8).

Menurut hasil risetnya, semakin ke tengah dan ke timur semakin kecil jumlah bumbu utama termasuk penggunaan rempah. Selain itu, semakin ke tengah dan ke timur variasi jamu-jamuan semakin berkurang meskipun Indonesia tengah dan timur penghasil banyak jenis rempah.

“Semakin ke barat Indonesia justru semakin banyak variasi kulinernya. Ini menjadi suatu yang sangat menarik. Ada apakah ini?,” ungkapnya.

Berdasarkan analisis yang telah Alie lakukan dalam beberapa tahun belakangan, ada beberapa aspek yang menyebabkan variasi kuliner dan penggunaan rempah dalam masakan semakin rendah di wilayah tengah dan timur Indonesia. Aspek tersebut yaitu cara pandang, sentuhan silang budaya dan pengetahuan dalam keterampilan mengolah makanan, dan perilaku sosial dalam pemanfaatan sumberdaya setempat.

“Aspek cara pandang yaitu bagaimana memandang makanan sebagai pemenuhan kebutuhan eksistensi, memandang makanan sebagai pemantik energi dan kesehatan, serta cara pandang terkait makanan kenyang versus makanan lezat,” jelasnya.

Sementara itu, dari aspek sentuhan silang budaya dan pengetahuan keterampilan mengolah makanan, lanjut dia, wilayah tengah dan timur Indonesia terbilang lebih sedikit dibandingkan dengan wilayah barat. Pasalnya, penjelajahan bangsa Tiongkok yang dikenal kaya dengan olahan makanan tidak melakukan perjalanan intens ke wilayah tengah dan timur Indonesia akibat adanya kebijakan empirium (kerajaan) dan imperium (kolonisasi).

“Sedangkan kelompok pedagang Arab juga kurang melakukan sentuhan banyak terhadap variasi makanan. Food habit mereka tidak sesuai dengan food habit orang nusantara bagian tengah dan timur yang lebih berbasis ikan dan pemanfaatan hasil kebun. Ini menjadi sesuatu yang sangat menarik,” paparnya.

Bangsa Eropa yang menjajah wilayah tengah dan timur Indonesia menurut Alie lebih memilih membawa menu makanannya sendiri seperti tepung terigu, maizena, dan minyak, sehingga persilangan budaya kuliner terjadi tidak maksimal di masyarakat tengah dan timur Indonesia.

Lebih lanjut, Alie membeberkan, dari aspek perilaku sosial dalam pemanfaatan sumberdaya setempat, menurut dia masyarakat wilayah tengah dan timur Indonesia lebih memaknai secara sederhana makanan sebagai sekedar kebutuhan energi.

“Konsepsi pengolahan bahan baku yang bersifat langsung dan praktis tidak perlu menggunakan pengolahan maksimal, ini yang terjadi di wilayah timur,” tuturnya.

Alie menambahkan, literasi kuliner di wilayah tengah dan timur Indonesia lebih terbatas akibat keterbatasan pengetahuan akan olahan makanan dan dukungan sumber daya lainnya.

“Ini termasuk kenapa kemudian wilayah tengah dan timur sangat sedikit variasi makanan tradisionalnya, karena pengolahan makanan lebih mengedepankan pada teknik pemasakan langsung seperti pembakaran, pemanggangan dan sangrai serta kurang menempatkan proses pengolahan makanan dengan model hybrid dan modifikasi lainnya,” pungkasnya.



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama